25 Feb 2012

Kurangnya Pendidikan Moral Pada Si Cerdas

Kurangnya Pendidikan Moral Pada Si Cerdas
- Ketika Lembaga Pendidikan Terlalu Berambisi Dalam Meningkatkan Intelektualitas -

            Banyak sekali kesempatan untuk mengasah daya intelektual, spiritual, dan emosional. Kesempatan tersebut dapat kita temukan dimanapun dan tidak akan berarti apabila kita tidak mempergunakannya dengan usaha sendiri secara baik. Usaha mengasah intelektual dapat dilakukan dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang ditugasi orangtua maupun guru, membaca buku di perpustakaan, khursus keterampilan, mengikuti berbagai pelatihan intelektualitas, dan masih banyak lagi. Usaha mengasah spiritual dapat dilakukan dengan mengikuti kegiatan spiritual, mengikuti pengajian, mengkaji agama, membaca buku yang dapat meningkatkan pemahaman mengenai agama tertentu, dan sebagainya. Sedangkan usaha untuk mengasah emosional, dapat dilakukan dengan mengikuti berbagai kegiatan sosial, aktif berorganisasi, mengunjungi panti sosial, dan lain-lain. Mengkaji kesempatan-kesempatan tersebut, intelektual, emosional, dan spiritual seseorang memungkinkan untuk diasah secara baik dan benar oleh lembaga yang memiliki tanggung jawab lebih untuk melakoni tugas tersebut, yakni lembaga pendidikan. Namun, amat disayangkan bahwa banyak lembaga pendidikan yang tidak menyeimbangkan pendidikan intelektual, emosional, dan spiritual peserta didik. Berbagai pendidikan yang diberikan hampir seluruhnya merupakan usaha peningkatan daya intelek, dan hanya sedikit pendidikan emosional dan spiritual yang diberikan didalamnya.
            Sebut saja ‘AK’, seorang siswi SMP yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) tertinggi se-sekolahnya, yakni mencapai angka 142. AK lahir dari keluarga sederhana, namun karena orangtuanya sangat menginginkan pendidikan yang baik untuk dapat mendidik anaknya menjadi orang yang berguna, mereka menyekolahkan AK di SMP swasta unggulan dan memiliki biaya yang mahal. Setelah mengikuti seleksi penempatan kelas, AK mendapat kelas X-A yang merupakan kelas terbaik, dengan penggolongan kelas dari A sampai G, dengan G merupakan kelas ‘terburuk’. Prestasi AK di SMP baru tersebut tidak hanya sampai disitu saja, ia pun ditunjuk sekolah untuk mengikuti seleksi program kelas akselerasi. Tidak disangka, dari hamper 150 peserta didik yang dirujuk untuk mengikuti seleksi, 18 peserta didik lolos seleksi dan AK termasuk didalamnya.
Tidak disangka-sangka, sejak SD AK tergolong anak yang tidak terlalu menonjol, meskipun selalu peringkat 10 besar, tapi prestasinya dalam bidang akademik cenderung stabil dengan rata-rata rangking adalah 8 dan ranking tertinggi adalah 5. Namun, hal positif dari AK yang lebih menonjol dibanding teman-temannya adalah kemampuan otak kanan dan kecerdasan emosional yang ia miliki. Setiap pelajaran olahraga di SD, AK selalu ditunjuk oleh guru untuk menjadi pemain utama, hampir disejajarkan dengan ‘siswa’ yang memang berbakat dalam olahraga. Pada pelajaran pramuka, guru membolehkan muridnya untuk lebih dulu keluar kelas bagi siapa yang dapat menjawab kuis yang ia berikan dan AK sering sekali berhasil mengambil ‘kesempatan emas’ tersebut. Kemampuan AK dalam mengorganisasikan tim dan menyatakan pendapat dinilai baik. Selain pelajaran matematika, AK juga sangat menyukai seni. Ia sering mengajarkan temannya bernyanyi dan menggambar, serta menjadi salahsatu pemain drama pada acara perpisahan. Dirinya juga supel dan cukup terkenal di SD tersebut. Saat menginjak tingkat VI SD, ia dan sahabat karibnya pernah dipercayakan mengajar di kelas I saat walikelas I yang bersangkutan harus mengikuti rapat. Hal terakhir yang perlu ditekankan bahwa SD tersebut merupakan SD percontohan di daerah perkampungan yang mayoritas dihuni oleh kalangan menengah ke bawah.
Tak ada gading yang tak retak, posisi AK pun seperti bocah ‘nanggung’. Piala yang telah ia dapat sampai ia tamat SD hanya 1 buah. Tidak ada apa-apanya bila disbanding dengan piala teman-teman dekatnya yang mencapai 10 buah. Karena ingin AK lebih ‘menonjol’, orangtuanya pun melanjutkan jenjang pendidikan AK di SMP swasta unggulan tersebut.
Sayang amat disayang, di kelas akselerasi AK menjadi seperti robot. Materi pelajaran yang seharusnya dipelajari selama 3 tahun dikebut menjadi 2 tahun. Dengan kata lain, AK dengan seluruh keringatnya berjuang 1 tahun belajar lebih cepat. Dalam hal ini, program akselerasi bukan untuk disalahkan, hanya saja dibalik tingkat IQ nya, AK tidak siap menerima kenyataan bahwa ia harus memaksakan menyesuaikan diri bergaul dengan orang-orang elit disekitarnya, sekaligus mengejar materi pelajaran 1 tahun. Tidak sedikit nilai positif yang dapat dipetik dari program akselerasi. Berbeda dengan kelas lainnya, di akselerasi mengadakan home schooling –tinggal dirumah penduduk desa dan menjadi bagian dari masyarakat desa tersebut dengan berbagai aktivitas yang mereka lakukan. Hampir setahun sekali, SMP tersebut mengadakan kegiatan sosial seperti berbuka puasa bersama dengan anak jalanan, anak yatim, anak dengan ketidaksempurnaan fisik, dan lain sebagainya. 
Kegiatan belajar mengajar di sekolah tersebut berlangsung mulai pukul 7 s.d 15.30 sehingga tidak ada waktu lagi untuknya bermain dengan teman rumahnya. Minatnya dalam organisasi pun jadi sangat menurun. Belum sampai 2 bulan, AK sudah 3 kali gonta-ganti ekskul, hingga akhirnya ia tidak mengikuti kegiatan ekskul apapun. Keadaan tersebut dilematis sekali, AK dan teman-temannya di acceleration class, juga harus menanggung cemooh teman seangkatan dan angkatan atas yang iri dengan fasilitas yang murid akselerasi terima sedang mereka tidak, sehingga garis eksklusifitas pun menjadi tebal.
Di SD, AK punya banyak sekali teman dari berbagai angkatan, sedangkan di SMP, letak kelas yang ‘beda sendiri’ dengan kelas program lainnya membuat AK tidak memiliki teman selain di kelas aksel dan teman sejemputannya. Banyak sekali angkatan atas (kakak kelas) yang sinis dengan AK dan teman-temannya di aksel. Ini semakin mendukung ‘keterasingan’ AK di SMP tersebut, khususnya di kelas akselerasi. Meskipun program yang dicanangkan baik dan mendidik, dengan penanganan yang kurang tepat, ‘Sebuah kayu jati akhirnya patah juga’ akibat ambisi suatu lembaga pendidikan terhadap maksimalisasi peningkatan intelektual peserta didik yang tidak seiringan dengan pendidikan emosional dan spiritual yang baik, benar, dan menyeluruh.

0 Comments:

Post a Comment