6 Apr 2013

Seminar Pemikiran Islam Kontemporer (bagian-1)

 

Rabu, 20 Maret 2013 di Aula UPT Perpustakaan UNJ Aula perpustakaan Universitas Negeri Jakarta pada hari itu diramaikan oleh para laki-laki dengan jas warna hitam bertuliskan Gontor. Tidak sedikit pula mahasiswa dan mahasiswi UNJ yang turut memenuhi ruangan tersebut. Di awal acara, peserta yang hadir dapat dihitung dengan jari, namun setelah taujih yang diberikan oleh para pemakalah disampaikan, tak disangka pesertanya pun langsung membludak.


Itulah kilasan suasana saat Seminar Pemikiran Islam Kontemporer dilaksanakan di Kampus kita tercinta, Universitas Negeri Jakarta. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara ISID (Institut Studi Islam Darussalam) Gontor, Humas Universitas Negeri Jakarta, Majelis Ulama Indonesia, dan LDK SALIM UNJ. Tahun 2013 ini merupakan ketiga kalinya ISID Gontor bekerja sama dengan UNJ. Tujuan utama kegiatan ini yakni sebagai persiapan peserta ISID Gontor untuk menjadi ulama yang dapat membangun bangsa ini. Acara yang berlangsung selama 4 jam ini diikuti dengan antusias oleh para peserta dikarenakan materi yang dibahas sangat menarik dan merupakan salah satu akar problema bangsa ini.

Memasuki gedung UPT Perpustakaan, langsung disambut oleh para panitia yang telah stand by sejak pukul 08.00 untuk mengkoordinir registrasi peserta kegiatan ini. Juga ada stand penjualan buku islami dari ISID Gontor. Saat memasuki ruangan seminar, terpampang jelas back drop yang bertuliskan bahwa keynote speaker kegiatan ini adalah Pembantu Rektor IV ISID, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Phil. Setelah peserta acara terkumpul dan para tamu telah hadir, acarapun di mulai pada pukul 09.15 oleh MC, Benni Zulmardi selaku Kadept. Kaderisasi LDK SALIM UNJ periode 2013. Lalu dilantunkan ayat suci Al-Qur’an nan indah oleh Abi A. Siregar dari ISID Gontor, berikut terjemahannya.

Sambutan pertama pun dihanturkan oleh Ketua LDK SALIM UNJ periode 2013, Ahmad Hidayat. Dalam sambutannya beliau mengucapkan terima kasih atas terselenggaranya acara ini. Disusul dengan sambutan dari Pembantu Rektor II UNJ, Dr. Suryadi. Dalam sambutannya beliau berpesan agar LDK SALIM UNJ, dan seluruh peserta yang hadir lebih mengutamakan pendekatan kultural dalam berdakwah karena yang demikian lebih baik dan lebih dapat menyentuh objek dakwah dibandingkan pendekatan politik.

Selanjutnya adalah sambutan dari Dr. Dehyatun Maskon, perwakilan ISID Gontor. Dalam sambutannya beliau menjelaskan bahwa pemikiran-pemikiran (al-ghowzul fikri) merupakan sebuah proses yang sudah lama berjalan, bahkan setelah Rasulullah wafat. Dulu, hal ini dilakukan melalui sastra. Pemikiran-pemikiran ini sampai melahirkan orang-orang yang mengaku nabi dan merasa yang paling hebat. Hendrick Grammer, seorang nonmuslim menulis buku berjudul Agama Islam. Dalam buku tersebut banyak sekali distrosi dan tindakan menjatuhkan islam. Perang pemikiran pun terjadi. Sampai pada akhirnya, dua tahun setelah terbitnya buku tersebut, R.H Suwiro (1935) mampu menulis buku berjudul Agama Kristen sebagai balasan buku Grammer.

Setelah pemberian sambutan, tibalah saatnya untuk memulai tauji dari para pemakalah yang terdiri dari perwakilan ISID Gontor dan UNJ. Kegiatan ini dibagi ke dalam dua sesi. Sesi yang pertama di moderator oleh Zulfikar Akbar Ramadhan dari ISID Gontor. Dalam sesi ini terdapat 3 pembicara, yaitu Mohammad Ismail, S.Pd.I, selaku sarjana Pendidikan Islam ISID Gontor, yang memberikan materi dengan judul Kebebasan Berpikir dalam Al-Qur’an. Pembicara kedua adalah Abdul Hamid Saragih, S.Psi, selaku sarjana Psikologi Univ. Muhamadiyyah Malang, yang memberikan materi dengan judul Konsep Sa’adah (Kebahagiaan) dan Islam. Pembicara yang ketiga adalah Airell Tufliado, mahasiswa Manajemen UNJ, selaku Ketua LSO Qur’an Institute periode 2012 yang memberikan materi dengan judul Keragaman Metode Pemahaman Islam Ahlussunah Wal Jama’ah. Berikut adalah pemaparan singkat mengenai materi yang disampaikan oleh para pembicara.

Kebebasan Berpikir dalam Al-Qur’an (M. Ismail, S.Pd.I)
Pandangan hidup islam berbeda dengan pandangan hidup dunia. Terjadi perang terminologi (istilah). Misalkan saja setiap kali kita membacakan lafadh, seringkali tidak tau artinya. Ilmu yang dibahas islam berbeda dengan barat. Oleh karena itu, terjadi Class of World View. Kebebasan di barat sering diartikan kebebasan tanpa batas apapun. Hal inilah yang menghasilkan pemikiran liberal. Padahal arti liberal dalam pandangan islam bukanlah seperti itu. Konsep ini menjadikan konsep agama menjadi candu. Lalu pertanyaannya adalah, apakah ada konsep kebebasan dalam islam?
Dalam konsep kebebasan berfikir, islam membebaskan manusia dari hawa nafsu dan kefanatikan. Islam masih dibatasi atau diikat oleh syari’at dan syari’at ini menentukan kebaikan untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. Kebebasan terbagi menjadi dua, yaitu kebebasan Al-Huriyyah dan kebebasan Al-Ikhtiyyar. Kebebasan Al-Ikhtiyyar merupakan upaya terbebas dari keburukan (memilih yang baik).

Dalam islam terdapat empat terminologi, yaitu tadabbur, tadzakkur, tafakkur, dan ta’aqqul. Tadabbur (memahami) ialah upaya memahami makna yang terdapat di balik ayat Al-Qur’an dan mengambil manfaat dari makna tersebut melalui hati. Hal ini berkenaan dengan surat Shaad : 29.

Tadzakkur (menjaga) ialah upaya menjaga ilmu yang pernah ia ingat atau pahami. Tadzakkur sering dikaitkan dengan ulul albaab (orang-orang yang berfikir). Hal ini berkenaan dengan surat  Ar-Rad : 19. Dengan ini, diharapkan umat islam mengambil pelajaran dari Al-Qur’an dan memikirkan makna yang terdapat didalamnya. Tafakkur berarti memikirkan. Ta’aqqul (mengikat) adalah daya hati yang mampu membedakan antara khair dan syarr, serta haqq dan bathil. Hal ini berkenaan dengan surat Al-Hajj : 46. Umat islam diharapkan jangan sampai terhegemoni dengan pemikiran barat.

Hasil berfikir pada dasarnya memiliki sumber yang sama. Tetapi, hasilnya terdapat 2 konsekuensi, yaitu, Pertama, mengikuti Al-Qur’an maka ia beriman. Kedua, mendustakan Al-Qur’an maka ia kufur. Kesimpulan dari pemaparan ini ialah kebebasan berfikir Ikhtiyyar (kebaikan) lebih tepat untuk mencapai taqwa.

Konsep Sa’adah (Kebahagiaan) dan Islam (Abdul Hamid Saragih, S.Psi)
Psikologi barat menggunakan latar belakang sekuler. Namun, orang yang pertama kali membuat laboratorium psikologi ternyata menggunakan konsep jiwa (ilmu Nafs). Menurut data ranking Negara dengan angka bunuh diri tertinggi yang bersumber dari Wikipedia dan WHO, didapat Korea Selatan menduduki peringkat pertama dengan 31,7 kasus per 100.000 orang. Sedangkan angka bunuh diri tertinggi di negara barat, diduduki oleh Jerman dengan jumlah pria sebesar 17,9 dan wanita sebesar 6,0. Kedua negara tersebut merupakan negara maju, tapi tidak bahagia. Dalam psicology of science, didapat bahwa faktanya banyak orang kaya tetapi tidak bahagia, banyak negara kaya tapi memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
Makna filosofis kebahagiaan, yaitu:
  1. Gabungan kesenangan, keadaan emosi, dan kepuasan hidup.
  2. Evaluasi diri saat ini dan masa sebelumnya.
  3. Perasaan positif dan kepuasan hidup.
  4. Harus dapat diukur secara empirisMakna filosofis keempat merupakan hal yang paling unik dan sangat banyak perdebatan diantara para ahli dalam menentukan indikator untuk dapat diukur.

Kebahagiaan terbagi menjadi dua mahzab. Variabel kebahagiaan dari mahzab pertama, yaitu kepuasan hidup, pengalaman, perasaan, hubungan baik dengan orang lain dan perasaan bermakna. Variabel kebahagiaan dari mahzab kedua, diantaranya penerimaan diri, kemandirian, penguasaan lingkungan dan tujuan hidup. Menurut kedua mahzab tersebut, agama tidak dimasukkan ke dalam indikator.

Menurut data perbandingan indeks kebahagiaan dan angka bunuh diri, negara Costa Rica menduduki peringkat pertama dengan indeks kebahagiaan sebesar 64,0 dan angka bunuh diri sebesar 10,2. Menurut data tersebut, indeks kebahagiaan negara islam ditempatkan pada peringkat yang rendah, tapi faktanya memiliki angka bunuh diri paling rendah. Terdapat pula data angka bunuh diri berdasarkan agama, dan faktanya islam merupakan agama yang paling sedikit ditemukan kasus bunuh diri.

Konsep Sa’adah yaitu kebahagiaan yang merupakan lawan kata dari Syaqawah atau penderitaan. Dalam islam, kebahagiaan dipandang dari dua dimensi, dunia dan akhirat. Menurut Prof. S.M.N. Al-Attas, terdapat tiga aspek kebahagiaan di dunia, yaitu Nafsiyyah, Badaiyyah,dan Kharijiyyah. Nafsiyyah adalah keadaan ketika sudah mengenal tuhan dengan baik. Hal ini berkenaan dengan surat Al-Imran : 14 yang berbunyi “… di sisi Allahlah tempat kembali yang lebih baik”.

Hal yang mempengaruhi tingkat keimanan, yaitu:1.Islam (kepasrahan). Hal ini mendatangkan ketenangan hati, yang berkenaan dengan surat AL-Fath : 26. Menurut Shigeo Haruyama, terdapat lebih dari dua puluh hormone yang memberikan kebahagiaan.2.Cinta kepada Allah. Seharusnya cinta kepada makhluk didasari oleh cinta kepada Allah SWT. Saat membaca Al-Qur’an, seseorang menangis karena bahagia.3.Do’a dan dzikir. Dzikir adalah psikiatrik yang lebih tinggi dari psikoterapi biasa. Do’a dapat membantu pasien untuk sembuh lebih cepat. Dzikir mampu mengurangi tingkat stress.Berdasarkan pemaparan ini didapat kesimpulan, diantaranya yaitu psikologi barat masih membutuhkan masukan untuk memaknai kebahagiaan.Keragaman
Metode Pemahaman Islam Ahlussunah Wal Jama’ah (Airell Tufliado)
Ahlussunah wal jama’ah adalah satu-satunya golongan dalam islam yang selamat. Hal ini berdasarkan hadits mengenai 73 golongan dalam islam dan hanya satu yang benar, yang terdapat dalam sunah Ibnu Majah, 11 : 1322, no. hadits 3992.  Semua kelompok (mahzab, ormas, dll) dalam islam yang mendapat pengakuan di Indonesia merupakan golongan ahlussunah wal jama’ah. Namun secara realitas, banyak klaim dari oknum kelompok-kelompok yang mengkhususkan ahlussunah wal jama’ah bagi kelompoknya. Terkait dengan hadits mengenai 73 golongan dan hanya satu yang benar ini, ditambahkan oleh hadits riwayat Tirmidzi yaitu, “Yang mengikuti jejakku (Rasulullah) dan jejak para sahabat”.

Terdapat pula dalam HR. Bukhari dan Muslim, Jika seorang hakim menetapkan hukum dengan bersungguh-bersungguh (ijtihad) kemudian benar maka baginya dua pahala dan jika dia menetapkan hukum dengan bersungguh-sungguh (ijtihad) kemudian salah maka baginya satu pahala. Dalam hadits tersebut ditemukan kata alshoba (benar), yang mengartikan bahwa benar pun masih ada kesalahan, serta kata akhthoa (salah), yang mengartikan bahwa salah pun masih ada kebenaran.

Menurut Abu Hanifah, sumber hukum islam menurut skala prioritasnya, yaitu:
  1. Al-Qur’an.
  2. As-Sunnah.
  3. Ijma’ (kesepakatan).
  4. Istishan (mencari manfaat).
  5. Qiyas (menyamakan sesuatu).
  6. ‘Urf (melihat budaya yang sesuai dengan jalur islam)
Dipaparkan pula pendapat para ahli lainnya mengenai sumber hukum islam. Dari seluruh pendapat, di dapat kesimpulan bahwa Al-Qur’an selalu menduduki posisi prioritas paling utama, lalu disusul dengan As-Sunnah pada posisi kedua. Dengan demikian, world view of islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu, segala perbedaan hars ditanggapi dengan cerdas.
***
(bersambung) 
sumber: http://salimunj.com/info-kampus-unj/info-kemahasiswaan/254-seminar-pemikiran-islam-kontemporer.html

0 Comments:

Post a Comment